Gender dan pendidikan di Indonesia: Kemajuan yang perlu dilakukan
Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam mencapai kesetaraan gender. Ini dapat dilihat dari peningkatan literasi, partisipasi siswa di sekolah, dan kesempatan kerja, serta kebijakan yang dirancang untuk mendorong masyarakat yang berkeadilan gender.
Gender Parity Index (GPI) pada tahun 1970-an menunjukkan perbedaan yang signifikan antara anak laki-laki dan anak perempuan klik disini dalam hal angka partisipasi sekolah, yaitu rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki yang terdaftar di sekolah. Kesenjangan ini tampak lebih lebar saat anak-anak bertambah tua. Namun, Indonesia mencapai kesetaraan gender dalam hal partisipasi sekolah di seluruh negeri pada tahun 2019, dengan GPI 1,00 untuk partisipasi sekolah pada anak-anak usia
Bank Dunia, dengan dukungan dari pemerintah Australia, baru-baru ini melakukan studi tentang gender dalam pendidikan yang menemukan bahwa, meskipun rata-rata nasional telah meningkat, ada perbedaan signifikan yang memihak pada anak laki-laki dan perempuan di tingkat daerah.
Hasil dan Fokus Utama
Partisipasi sekolah: Baik anak laki-laki maupun perempuan tertinggal di beberapa tempat. Sebagai contoh, hanya 61 persen anak laki-laki usia 16 sampai 18 tahun yang bersekolah di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah, sedangkan persentase anak perempuan adalah 95. Namun, di daerah lain, anak perempuan juga tertinggal. Misalnya, jumlah anak laki-laki yang bersekolah di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, sekitar satu setengah kali lebih besar daripada jumlah anak perempuan.
Perbedaan dalam status sosial dan ekonomi dan hal-hal yang terkait dengan lokasi geografis tampaknya memiliki pengaruh yang signifikan pada apakah siswa dapat menyelesaikan sekolah mereka atau tidak. Remaja yang berasal dari rumah tangga yang paling miskin memiliki kemungkinan empat kali lebih besar untuk putus sekolah dibandingkan dengan remaja dari rumah tangga yang paling kaya. Faktor utama yang menyebabkan putus sekolah tampaknya adalah masalah ekonomi.
Selain itu, mayoritas anak putus sekolah tinggal di daerah pedesaan dan terpencil.Pernikahan Anak: Dampak pada anak perempuan masih tidak proporsional, dengan variasi yang signifikan di tingkat daerah. Pernikahan dini dan partisipasi sekolah berbanding terbalik, terutama bagi anak perempuan, karena banyak anak putus sekolah jika mereka harus menikah. Meskipun angka pernikahan anak di Indonesia telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, angka tersebut tetap tinggi. Variasi yang luas di tingkat ditemukan dalam penelitian ini.
Sebagai contoh, pada tahun 2015, 34,2 persen perempuan usia 20-24 tahun yang pernah menikah telah menikah sebelum berusia 18 tahun. Ini menunjukkan tingkat pernikahan dini tertinggi di Sulawesi Barat. Kepulauan Riau, di sisi lain, memiliki angka yang lebih rendah tetapi tetap signifikan, yaitu 11,7%.Studi ini menunjukkan bahwa perundungan di sekolah berdampak pada anak laki-laki dan perempuan secara berbeda. Anak laki-laki lebih rentan terhadap perundungan atau kekerasan fisik, tetapi anak perempuan lebih rentan terhadap kekerasan seksual dan kekerasan emosional dan psikologis.